Monday 1 November 2010

Anggaran Banjir Melejit, Pemprov DKI Kok Lemot

RMOL. Sampai kini, wilayah DKI Jakarta belum bisa lepas dari masalah banjir. Padahal, anggaran yang dialokasikan APBD untuk mengatasinya sangat fantastis. Bahkan terus naik dari tahun ke tahun. Hal ini dinyatakan Sekjen Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Yuna Farhan.

Pada 2008 saja, anggaran pe ngendalian dan penanganan ban jir telah mencapai Rp 916,36 mi liar, pada 2009 telah menembus angka Rp 1,08 trilun, bahkan pada 2010 terus naik menjadi Rp 1,34 triliun.

Kemudian instansi yang memi liki kewenangan paling banyak dan mendapatkan porsi anggaran paling besar untuk 2010 adalah Dinas Pekerjaan Umum dengan total sebesar Rp 970 miliar. Seba­gian besar anggaran tersebut digunakan untuk pemeliharaan dan operasional infrastruktur be rupa pengerukan saluran, perbai kan dan pemeliharaan.

Menurut Yuna, tingginya alo kasi anggaran pengendalian dan penanganan banjir, ternyata tidak sebanding dengan dampak yang dihasilkan. Ini menunjukkan Pem prov DKI selama ini cende rung malas mencari solusi, tidak per nah mencoba membuat lang kah-langkah dan terobosan baru, ke cuali sebatas menaikkan ang garan banjir dengan logika “se ma kin besar anggaran akan se ma kin kecil potensi banjir Jakarta”.

“Tapi logika tersebut terban tahkan dengan seringnya Jakarta terkena banjir. Besaran alokasi untuk pengendalian dan penanga nan banjir tidak seban ding de ngan hasil yang diharap kan,” cetusnya.

Ironisnya, lanjut Yuna, banjir yang terjadi semakin sulit diken dalikan. Kunci tertanganinya ban jir tidak ditentukan besar ke cilnya anggaran, tetapi pada ba gaimana Pemprov DKI mencari langkah, upaya dan cara-cara yang lebih efektif dalam pena nga nan banjir. Sebab alokasi ang­garan sebenarnya hanya meng ikuti kebutuhan suatu program.

Sementara itu, Ketua Sahabat Demokrat Yunindya Dedi, men de sak kepada pejabat yang ber­wenang di lingkungan Pemprov DKI, mulai dari tingkat paling bawah, seperti lurah hingga ke ting kat walikota dan sekda be kerja maksimal demi menyele saikan masalah genangan dan banjir.

Jika ternyata tidak mampu, se gera ganti dengan pejabat yang masih mau bekerja demi ke pen­tingan orang banyak. “Segera pro ses hukum pengembang-pengembang nakal yang tidak pa tuh terhadap peraturan tata ru ang yang dibuat Pemprov DKI,” tutupnya.

Hal senada diungkapkan ang gota Komisi D DPRD DKI Ja karta Muhammad Sanusi. Me nurutnya, Gubernur DKI sudah tidak bisa lagi tidur nye nyak. Gubernur menurutnya harus memanggil seluruh anak buahnya untuk berpikir keras menyele saikan masalah ini dalam waktu secepat-cepatnya secara situasio nal pragmatis sesuai ke butuhan masyarakat.

Kemudian, penanganan benca nanya harus cepat dan tanggap, dan itu harus disampaikan ter­buka kepada masyarakat. “Seka rang sudah nggak bisa manja-man ja lagi. Mereka yang tidak patuh dan tidak mampu, ganti saja, karena ini merugikan ma sya rakat,” tegas Sanusi.

Sementara pengamat perkota an Yayat Supriatna menjelaskan, Pemprov DKI harus memahami kondisi Jakarta sudah sangat jauh berubah. Katanya, wilayah Ja karta yang sangat luas ini jangan hanya dipandang secara parsial, hanya satu lokasi, karena tidak me nyelesaikan masalah.

Menurutnya, meski Pemprov, khususnya Dinas PU DKI Jakarta sudah melakukan perbaikan dan pembenahan terhadap saluran-saluran, fakta yang ada, genangan masih terjadi dan ada dimana-mana. “Ini menunjukkan, kita gagal dalam sistem drainase. Drainase kita bisa dikatakan sisa masa lalu, sekitar 20-30 tahun yang lalu. Jadi itu didesain pada waktu Jakarta belum sebesar ini,” kata Yayat.

Kota Jakarta, lanjutnya, terus berkembang, tapi drainasenya tidak. Sebelumnya banyak daerah resapan atau Ruang Terbuka Hijau (RTH), sekarang sudah jauh berkurang.

Otomatis dengan berubah fung si kawasan dimana 92 persen diisi dengan kawasan terbangun, genangan atau pun banjir sangat mungkin terjadi. “Ini yang mem buat Jakarta punya sensitifitas tinggi terhadap hujan. Walaupun tidak ada banjir kiriman dari Bo gor,” ucapnya.

Selain itu, kata Yayat, harus di akui, di Jakarta itu ada dualisme birokrasi dalam menangani Ja­karta. Seperti 13 sungai yang me ngalir di Jakarta itu berada dalam penge lolaan Kementrian PU, tapi ada 19 sungai di Jakarta yang pu nya DKI. Seperti di Kali Pesang grahan dan Kali Krukut, contohnya.

Kalau Pesanggrahan banjir, DKI tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi kalau Krukut banjir, itu baru urusannya DKI. “Ini masih saling tunjuk-tunjukkan atau dimana domainnya masing-masing,” cetusnya.

Sedangkan Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Ubaydillah malah menilai, DKI Jakarta tidak mampu menyelesaikan dan me nata lingkungannya. Karena itu, perlu campur tangan peme­rintah pusat, dan menetapkan DKI dalam keadaan siaga bencana.

Untuk itu, menurut Ubay, perlu ada instruksi presiden dan harus dijalankan oleh menterinya mau pun oleh jajaran di pemerintah pu sat. “Diharapkan dari hal terse but akan tercapai titik temu dan solusinya. Karena terkadang DKI Jakarta saat akan melakukan ac tion-nya, terbentur dengan kebi jakan pusat,” tutupnya. [RM]

No comments:

Post a Comment